7/25/2008

Kasus Aliran Dana Bank Indonesia, Contoh Kasus Yang Patut Dijadikan Pelajaran

Beberapa tahun terakhir ini, dunia peradilan kita disibukkan dengan proses pengadilan kasus-kasus korupsi dan suap yang melibatkan tidak hanya pejabat-pejabat di lingkungan pemerintahan, tapi juga beberapa anggota dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan bahkan juga beberapa warga sipil.

Salah satu kasus yang saat ini proses pengadilannya sedang berjalan yaitu menyangkut kasus dugaan suap yang dilakukan oleh pejabat-pejabat di lingkungan Bank Indonesia kepada beberapa anggota dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kasus yang dikenal dengan kasus aliran dana Bank Indonesia tersebut diduga terkait dengan upaya dari pejabat-pejabat Bank Indonesia dalam rangka untuk memperlancar proses pembahasan rancangan undang-undang tentang Bank Indonesia di Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam perspektif 'lobbyist', kasus yang cukup menghebohkan tersebut barangkali hanya salah satu contoh kasus yang cukup menarik untuk ditelaah berdasarkan sudut pandang dunia lobi- melobi yang lebih sehat dan profesional. Tentu saja dengan harapan agar telaah tersebut nantinya bisa memberikan kontribusi yang positif dalam membangun budaya lobi-melobi yang lebih sehat, terutama dalam setiap proses pengambilan kebijakan publik.

Peran Pelobi

Bermula ketika Presiden Amerika Ullyses Grant sedang berada di Lobby Willards Hotel Washington dengan mengisap cerutu sambil minum brandy, dan ngobrol ngobrol yang akhirnya menghasilkan keputusan yang memuaskan semua pihak.
Sejak itu mulai dikenal istilah ‘lobby’, dimana keputusan keputusan penting yang sulit di ambil diruang kerja menjadi lebih mudah diputuskan. Namun, pada saat itu, kegiatan lobby lebih banyak berhubungan dengan Parlemen dan Eksekutif, belum sampai merambah ke banyak bidang yang tidak selalu berhubungan dengan Parlemen dan Eksekutif seperti sekarang ini.
Though many see lobbying as a potential corruption to the system, others
disagree. Bill Clinton defended his wife's reception of lobbyist money for
her campaign by saying:
" Lobbyists are registered, they register with the federal government
and can give the same amount of money, $2300, anybody else can. That's not
going to influence you. What gives the lobbyists influence is the people who
hire them for work for them. It's all the people they represent. So all
these people who don't take money from lobbyists, they take money from the
lobbyists' spouses, their children, their brothers, their sisters, from all
the people they represent. It's a distinction without a difference, I think.
There's no significant financial gain, because there's not that many
lobbyists. If we're going to take money from the guys who pay the lobbyists,
why treat them [the lobbyists] as less than full citizens ?”
Di Amerika Serikat, diperlukan waktu yang sangat panjang sampai akhirnya Lobby sebagai sebuah profesi diakui eksistensinya. Demikian juga dengan Lobbyist di negara Europa lainnya, eksistensinya diakui dan syah menurut Undang Undang Negara.
Berbeda dengan Indonesia. Selama ini istilah Lobbyist bisa dibilang hanya milik partai politik atau anggota parlemen. Praktis, kegiatan lobi kebanyakan dilakukan antar Fraksi yang di parlemen, atau antara Departement dengan Parlemen. Karenanya istilah lobby menjadi kurang menyebar baik bidang maupun ruang lingkupnya.
Princentown refference malah menulis :
A Day in the life of a Lobbyist
Whether lobbyists work for a large organization, a private individual, or
the general public, their goals and strategies are the same.
Dan.
Paying Your Dues
Lobbying is a profession full of people who have changed careers, since
relevant knowledge and experience are all you really need to become a
lobbyist. There are no licensing or certification requirements, but
lobbyists are required to register with the state and federal governments.
Most lobbyists have college degrees. A major in political science,
journalism, law, communications, public relations, or economics should stand
future lobbyists in good stead. While you're still in college you can check
out the terrain through various government-related internships-as a
congressional aide, in a government agency, or with a lobbying firm, for
example. Any of these positions will give you a look at the role of lobbying
in the political system. After college the same holds-working in a
government or political office, especially as a congressional aide, takes
you to the front lines, but it may also be useful to start out in a law or
public relations firm. Many lobbyists also come from careers as legislators,
as former politicians often capitalize on their years of government service
and their connections to old pals still in office. This is the "revolving
door" that recent legislation has begun to regulate (see "Past and Future").
Indeed, networking is the name of the game in lobbying, where people are
hired as much for who they know as what they know. Someone who can schmooze
at high levels will start his lobbying career from an accordingly high
perch, while others face a long hard climb upwards. While there is no
hierarchy of seniority as in corporations, this also means that there is no
ceiling for those who do well”.
Dari sedikit ilustrasi diatas, bisa di tarik kesimpulan, bagaimana pentingnya sosok lobbyist yang apabila bisa berperan secara profesional dan diakui keberadaannya akan membuat banyak perubahan di dalam sistim ketatanegaraan dari sebuah negara.
Sebagai tambahan ilustrasi, berikut sebuah kutipan dari sebuah bulletin board tentang kiprah lobbyist di kota Brussels:
“There are currently around 15,000 lobbyists in Brussels (consultants,
lawyers, associations, corporations, NGOs etc.) seeking to influence the EU's
legislative process. Some 2,600 special interest groups have a permanent
office in Brussels. Their distribution is roughly as follows: European trade
federations (32%), consultants (20%), companies (13%), NGOs (11%), national
associations (10%), regional representations (6%), international
organizations (5%) and think tanks (1%), (Lehmann, 2003, pp iii)”.
Bagaimana dengan Indonesia ?. Bisa dibilang di Indonesia sampai saat ini belum mengenal istilah lobbyist atau pelobi sebagaimana pengertian lobbyist atau pelobi yang sudah eksis di negara-negara maju. Bahkan sampai saat ini, pengertian lobbyist atau pelobi masih tetap cenderung identik dengan politikus-politikus yang menjadi anggota fraksi-fraksi yang ada di parlemen. Seakan tak ada ruang tumbuh bagi lahirnya pelobi-pelobi profesional yang semestinya tidak harus identik dengan seorang politikus.
sur

7/21/2008

PELOBI

Secara umum, lobi (lobby) diartikan sebagai suatu kegiatan, yang kebanyakan di lakukan di dunia politik, untuk mempengaruhi lembaga-lembaga politik maupun lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, dengan tujuan untuk mempengaruhi agar pandangan atau kepentingan pribadi atau organisasi yang bersangkutan terwakili di dalam pemerintahan. Pelobi atau lobbyist adalah orang yang melakukan kegiatan untuk mempengaruhi proses pembuatan legislasi maupun keputusan-keputusan lembaga-lembaga politik yang terkait dengan kebijakan publik atau pendapat umum. Biasanya para pelobi tersebut memperoleh kompensasi dalam melakukan pekerjaannya tersebut. Dalam pengertian yang lebih luas, seorang pelobi umumnya adalah orang yang terlibat dalam kegiatan hubungan masyarakat atau orang yang kegiatannya menjalin hubungan dengan pemerintah (goverment relation).

Kebanyakan perusahaan besar yang memiliki kepentingan investasi atau proyek (swasta atau milik pemerintah) maupun kelompok kepentingan politik secara khusus merekrut profesional dengan tugas sebagai pelobi. Bahkan tidak jarang yang menyewa pelobi profesional
untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan mereka. Namun ada juga perusahaan atau kelompok kepentingan politik yang membentuk kantor-kantor khusus atau divisi-divisi khusus dalam organisasinya untuk menjalankan kegiatan hubungan masyarakat termasuk menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga pemerintah.

Di Indonesia, kegiatan lobi umumnya hanya dilakukan antar kekuatan partai-partai politik, atau antara partai politik yang diwakili oleh fraksi-fraksi di parlemen dengan lembaga-lembaga pemerintah. Tidak jarang, kegiatan lobi juga dilakukan oleh organisasi perusahaan yang juga memberikan sumbangan kampanye ke partai politik yang memiliki perwakilan di parlemen dengan maksud agar kepentingan-kepentingan perusahaan tersebut terakomodasi. Itu sebabnya, kegiatan lobi, terutama yang dilakukan oleh organisasi perusahaan, cenderung menyebabkan timbulnya kecurigaan atas dugaan adanya korupsi atau suap (ingat kasus aliran dana Bank Indonesia ke beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam kasus pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia ?).

Dalam beberapa kasus, tidak jarang kita jumpai politikus yang melakukan posisi tawar-menawar karena mereka membutuhkan sokongan dana dari pihak yang melobi. Alhasil, banyak pengkritik yang akhirnya menganggap bahwa kebanyakan politikus bertindak atas dasar hanya pada kepentingan pihak-pihak yang memberikan sumbangan untuk mereka. Inilah yang kemudian menimbulkan persepsi publik yang negatif terhadap politikus dan seorang pelobi yang seringkali dicurigai dengan adanya dugaan korupsi atau suap.

Di luar negeri, terutama di AS dan negara-negara Eropa, eksistensi seorang pelobi atau lobbyist cukup diakui keberadaanya layaknya sebuah profesi. Bahkan dalam dunia politik, bisa dikatakan keberadaan para pelobi profesional tersebut cukup strategis, baik dalam masa kampanye maupun dalam proses pengambilan kebijakan publik yang dilakukan baik oleh parlemen maupun lembaga-lembaga pemerintah.

Bagaimana di negara kita ?. Adakah peluang untuk lahirnya pelobi-pelobi yang betul-betul menekuni dan menjalankan kegiatannya secara profesional seperti layaknya sebuah profesi yang eksistensinya mestinya juga harus diakui secara sah ?.
AddThis Feed Button